Sejarah Twitter

Twitter adalah sebuah situs web yang dimiliki dan dioperasikan oleh Twitter Inc., yang menawarkan jejaring sosial berupa mikroblog sehingga memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan yang disebut kicauan (tweets). Kicauan adalah teks tulisan hingga 140 karakter yang ditampilkan pada halaman profil pengguna. Kicauan bisa dilihat secara luar, namun pengirim dapat membatasi pengiriman pesan ke daftar teman-teman mereka saja. Pengguna dapat melihat kicauan penulis lain yang dikenal dengan sebutan pengikut.
 
Semua pengguna dapat mengirim dan menerima kicauan melalui situs Twitter, aplikasi eksternal yang kompatibel (telepon seluler), atau dengan pesan singkat (SMS) yang tersedia di negara-negara tertentu. Situs ini berbasis di San Bruno, California dekat San Francisco, di mana situs ini pertama kali dibuat. Twitter juga memiliki server dan kantor di San Antonio, Texas dan Boston, Massachusetts.
 
Sejak dibentuk pada tahun 2006 oleh Jack Dorsey, Twitter telah mendapatkan popularitas di seluruh dunia dan saat ini memiliki lebih dari 100 juta pengguna. Hal ini kadang-kadang digambarkan sebagai “SMS dari internet”.
 
Sejarah
 
Twitter berawal dari sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh anggota dewan dari Podcasting perusahaan Odeo. Dalam pertemuan tersebut, Jack Dorsey memperkenalkan ide twitter dimana individu bisa menggunakan SMS layanan untuk berkomunikasi dengan sebuah kelompok kecil. Proyek ini dimulai pada tanggal 21 secara terbuka pada tanggal 15 Juli 2006. Twitter menjadi perusahaan sendiri pada bulan April 2007.
 
Popularitas Twitter mulai meningkat pada tahun 2007 ketika terdapat festival South by Southwest (SXSW). Selama acara tersebut berlangsung, penggunaan Twitter meningkat dari 20.000 kicauan per hari menjadi 60.000. Reaksi di festival itu sangat positif.
 
Pada tanggal 14 September 2010, Twitter mengganti logo dan meluncurkan desain baru.
 
Pertumbuhan
 
Sudah lebih dari 400.000 kicauan dikirim-tampil (post) per kuartal pada tahun 2007. Kemudian berkembang menjad 100 juta kicauan dikirim-tampil per kuartal pada 2008. Pada akhir tahun 2009, 2 miliar per kuartal kicauan sudah dikirim-tampil. Pada kuartal pertama tahun 2010, 4 miliar kicauan yang dikirim-tampil. Pada bulan Februari 2010 pengguna Twitter mengirimkan 50 juta per hari. Pada Juni 2010, sekitar 65 juta kicauan yang dikirim-tampil setiap hari, setara dengan sekitar 750 kicauan dikirim setiap detik, menurut Twitter.
 

Pengguna Twitter akan menjadi lebih aktif ketika ada kejadian menonjol. Sebagai contoh, rekor diciptakan pada Piala Dunia 2010, ketika penggemar menulis 2940 kicauan per detik di kedua periode 30 setelah Jepang mencetak gol melawan Kamerun pada tanggal 14 Juni 2010. Rekor dipatahkan lagi ketika 3085 kicauan per detik yang dikirim-tampil setelah kemenangan Los Angeles Lakers di Final NBA 2010 pada tanggal 17 Juni 2010. Hal ini pun terjadi ketika penyanyi Michael Jackson meninggal dunia pada tanggal 25 Juni 2009, server Twitter turun karena pengguna memperbarui status mereka untuk memasukkan kata-kata “Michael Jackson” pada tingkat 100.000 kicauan per jam.

SUMBER

5 Alasan Kenapa Film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30 S/PKI’ Itu Bagus

Aaah sebelum kamu semua menguliahi kita mengenai betapa banyak kebohongan sejarah dalam film ini, sini kita bisikin dulu : KITA UDAH TAU. Dan artikel ini bukan hendak berpolitis atau gimana, tapi semata-mata memberikan apresiasi terhadap kerennya film ini. Karena sesungguhnya film ini digarap dengan detil yang mencengangkan. Bahkan bisa dibilang, sampai saat ini, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI ini merupakan salah satu film terbaik dalam sejarah film Indonesia. Gak percaya? Nih alasannya:

1. Musik Latarnya.

Adalah Embie C Noor yang jadi music director film ini. Seperti sudah paham akan dibawa kemana arah film ini, maka latar belakang musik mencekam lah yang dipilih. Karena memang itu tujuan dari film propaganda ini, memberi kesan mengerikan dan kejam tentang PKI. Dari mulai awal film yang memperlihatkan bung Karno di istana Bogor aja musiknya sudah menyayat. Belum lagi narasi yang kaku dan dingin serta latar suara berita radio yang menceritakan rawannya situasi politik saat itu. Musiknya tuh gak ngagetin dan bikin berdebar-debar seperti film horor pada umumnya, tapi pelan dan menyayat, seakan mengiris kuping dan hati. Pengalaman MBDC dulu sih, kalau gak berani liat adegan kekejaman di film itu, kita tutup kuping pun tetep berasa seremnya.

2. Setting

Berpindah-pindah dari mulai istana bogor, rumah para panglima, TK Ade Irma, ruang-ruang sempit penuh asap rokok, tempat rapat-rapat gelap PKI, dan tentu saja lubang buaya. Selingan suasana masyarakat miskin yang sedang antri beras, coretan-coretan Manipol Usdek di tembok-tembok dan atap rumah, poster bung Karno, semuanya menggambarkan suasana tahun 60an dengan sangat akurat dan memberi kesan betapa mencekamnya situasi saat itu.

3. Alur Cerita

Durasi film yang hampir 4 jam ini sama sekali gak bertele-tele, malahan bikin kamu tegang terus karena setiap adegan memberi kesan penting dan genting. Ditambah lagi keharusan untuk mengetahui isi film dengan baik dan benar bagi para pegawai negeri dan anak sekolah, karena akan keluar di ujian, membuat pengalaman menonton film ini menjadi semakin mendebarkan. Adegan kekerasan dan kekejaman dalam film ini gak usah ditanya lagi betapa sadisnya. Ketika para jendral disiksa dengan latar belakang lagu genjer-genjer itu sungguh tak terlupakan atau ketika anak DI Panjaitan histeris membasuh mukanya dengan genangan darah ayahnya, dan tentu saja tertembaknya Ade Irma. Bombastis meneror sampai ke alam bawah sadar. Membuat siapapun yang mendengar kata PKI akan merinding.

4. Dialog

Ah siapa sih yang gak inget ‘Darah itu merah, Jendral’, ‘Jawa adalah Kunci’, ‘Hari H, djam D’,  ‘Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri’. Merinding braaay. Dialognya sangat kuat, karena film ini adalah propaganda sejarah setiap kalimat dan fakta yang hendak diceritakan harus jelas. Sehingga penonton mengingat jelas setiap detil sejarah, nama-nama dan peristiwa yang hendak digaris bawahi dalam film ini. Semakin keren karena kamu sama sekali gak bosan menonton film ini, padahal sangat sarat dengan muatan sejarah dan propaganda.

5. Pemain

Film ini bisa dibilang film terbesar dalam sejarah film Indonesia, ada sekitar 10rb figuran dan 120 orang yang memerankan tokoh nyata. Sastrawan Ommar Kayam sebagai bung Karno, sastrawan dan wartawan Syubah Asa sebagai DN Aidit, Amaroso Katamsi jadi Soeharto, dan Wawan Wanisar jadi Pierre Tendean, ajudan Nasution yang tertembak menggantikan komandannya. Meskipun akting para pemainnya tidak ada yang terlalu istimewa, semacam akting berama-ramai gitu tipikal drama dokumenter, tapi justru kesan kaku dan dingin dari para pemainnya menambahkan nuansa serius dan mencekam dari film ini. Hii serem.

Ada berapa kali kata mencekam disebutkan diatas ya? Bisa dibilang film ini masuk kategori film Indonesia jadul yang membuat trauma. Bukan cuma trauma personal tapi juga trauma bangsa. Tsailah. Sebenernya ngapain sih MBDC tiba-tiba ngebahas ini? Ya gak papa sih, kangen aja. Kalo dulu kan nonton film ini dipaksa. Nah, sekarang kita bisa menilai film ini lebih dari sisi artistiknya, bukan dari segi propagandanya. Kapan terakhir kamu nonton film ini? Punya kesan-kesan sendiri setelah nonton film ini? Boleh lho dishare.

Sejarah Kondom

Banyak teori yang bertebaran mengenai masalah ini dan menurut kesimpulan William E. Kruck, asal kata kondom tidak diketahui secara pasti. Salah satu pendapat yang berupaya menjelaskan asal kata kondom menyatakan bahwa kondom berasal dari kata Latin “condon”, artinya penampung. Yang lain bilang bahwa kondom berasal dari kata Latin “condamina” yang bermakna rumah. Ada pula yang spekulasi kondom itu dari kata Italia “guantone” berasal dari “guanto”, maksudnya sarung.
https://i0.wp.com/benbodo.blogdetik.com/files/2008/05/kondom_tertua.jpg
Di Inggris beda lagi teorinya. Menurut cerita rakyat sana, kata kondom ditarik dari nama dokter Condom atau Quondam yang membikin benda itu buat Raja Charles II (tapi tak ada bukti ilmiahnya). Satu teori menyebutkan ada opsir tentara Inggris bernama Cundum yang mempopulerkan kondom antara tahun 1680-1717. Macam-macam saja. Makanya daripada bingung mending diputuskan bahwa asal katanya tidak diketahui, bereslah perkara.

Sekarang kita lanjut ke sejarahnya. Sebuah lukisan Mesir Kuno yang diperkirakan usianya 3.000 tahun menggambarkan tentang sarung penis dekoratif yang sedang dipakai kaum pria. Belum diketahui apakah orang Mesir memakai kondom tersebut untuk tujuan ritual atau kontrasepsi, tapi tampaknya benda itu lebih condong digunakan sebagai pelindung terhadap penyakit dan serangga. Legenda Yunani tentang Minos yang dikisahkan oleh Antonius Liberalis pada tahun 150 menggambarkan pemakaian kandung kemih kambing sebagai tindakan protektif ketika sanggama, tapi tujuan praktek semacam itu tidak betul-betul jelas. Di Jepang, konon sarung penis digunakan pada awal 1500-an.

https://i0.wp.com/www.dicts.info/img/ud/condom.jpg
Kondom pertama ditemukan pada tahun 1564 ketika seorang dokter bangsa Italia bernama Gabrielo Fallopia (ya, salah satu saluran reproduksi wanita dinamakan berdasarkan nama si dokter ini) merekomendasikan penggunaan sarung linen yang berfungsi sebagai pelindung terhadap penyakit menular seksual. Caranya, sarung linen tersebut dibasahi dengan larutan kimia tertentu dan dikeringkan sebelum dipakai. Si dokter ini mengaku melakukan eksperimen pada 1.100 subjek dan melaporkan bahwa sarung tersebut melindungi pemakainya dari sifilis. Sementara, kondom paling tua yang ditemukan berasal dari Kastil Dudley di Inggris pada tahun 1640 (wah, awet betul). Kondom tersebut dibikin dari usus hewan dan dipercaya digunakan sebagai pelindung dari penularan penyakit menular seksual. Pada abad ke-19 di Jepang sudah tersedia kondom dari kulit, selongsong kura-kura atau tanduk. Di Cina disebutkan bahwa benda sejenis juga ada, tapi bahannya dari kertas sutra berminyak (apa tidak menimbulkan suara gemersik ya? ).
https://i0.wp.com/scrapetv.com/News/News%20Pages/Business/images-2/holding-condom.jpg

Sampai pertengahan abad ke-18 kondom dibikin dari usus hewan. Kondom karet baru diproduksi pada tahun 1855 setelah Charles Goodyear menciptakan vulkanisasi karet. Tentu saja wujudnya belum seperti sekarang. Kondom karet generasi awal itu dijahit pada sisi-sisinya dan tebalnya mencapai 1-2 mm. Dan bisa dipakai berulang kali (asal jangan lupa dicuci, barangkali). Baru pada 1912 seorang Jerman bernama Julius Fromm mengembangkan teknik produksi kondom yang baru, yaitu dengan mencelupkan adonan kaca ke dalam larutan karet mentah sehingga kondom jadi lebih tipis dan tanpa jahitan. Sejak masa 1930-an kondom telah mengalami perkembangan menjadi kondom sekali pakai yang tipis dan murah seperti sekarang.

http://meekaela.files.wordpress.com/2008/02/cdm.jpg
Tadi itu perkara kondom pria, kini kita melangkah ke urusan kondom wanita. Pada tahun 1988 beberapa negara mulai mengetes kondom wanita. Kondom wanita disetujui untuk dijual untuk umum di Amerika Serikat mulai tahun 1992. Di Indonesia juga saya samar-samar ingat sudah dipasarkan. Kondom wanita terbuat dari lateks atau polyurethane, bentuknya mirip kondom biasa (baca: pria), tapi dikenakan di dalam tubuh wanita. Di ujung sarungnya yang tertutup terdapat cincin plastik fleksibel yang pas dengan leher rahim, mirip diafragma. Di ujung yang berlawanan terdapat cincin yang melingkari daerah labia (bibir kemaluan). Meskipun kondom wanita ukurannya pas dengan kontur vagina, penis bisa bergerak bebas di dalam sarung tersebut yang dilapisi pelumas berbahan dasar silikon.
https://critasejarah.files.wordpress.com/2013/02/kondom-perempuan.jpg?w=300
Sebagai penutup, saya ketengahkan beberapa macam arah pengembangan kondom yang menurut saya menarik. Université Laval di Quebec, Kanada mengembangkan kondom tak kasat mata. Bentuknya berupa jel yang dioleskan di penis dan mengeras (jelnya, bukan penisnya) ketika terjadi peningkatan suhu saat penetrasi anal atau vaginal. Jel tersebut luruh setelah beberapa jam, tapi jel ini masih dalam tahap uji coba klinis. Berita di teve Swiss tanggal 29 November 2006 menyebutkan ilmuwan Jerman, Jan Vinzenz Krause dari Institut untuk Konsultasi Kondom tengah mengembangkan kondom semprot yang kering dalam lima detik saja dan kini sedang tes pasar. Keuntungan dari dua model pengembangan kondom terbaru tersebut adalah pasti pas untuk penis ukuran dan model apapun. Kalau produk-produk tersebut dipasarkan, selamat tinggal kasus kondom kedodoran atau robek lantaran sempit.

SUMBER

Ali Moertopo ~Sang Arsitek~

 Hidup itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum.” Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, “Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara.” Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei 1984.

Sebagai think thank di balik pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Pada 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).

Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924, itu tak terdengar mempunyai hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo – seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO – dijuluki sementara pengamat sebagai man of opinion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan.

“Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP, bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata Jepang saja: sayonara”.

“Baru pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintara, saya memimpikan menjadi kapten. “Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten,” doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata, “Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat.” Tapi promosi saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora. Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa dan negara, berarti saya telah berkhianat”.

Pada tahun 1961, dialah yang memimpin Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966), Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalam upaya menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B. Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.

Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan menjadi cap dari segala kegiatan operasi inteligen, tak hanya di bidang militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama Itu begitu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai “suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya”. Itu sebabnya, sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira tinggi inteligen yang amat berpengaruh.

Mungkin lantaran sudah percaya, sekali waktu sebagai Kepala Opsus itulah Ali Moertopo rupanya diserahi lagi tugas oleh Pak Harto, namun kali ini tugasnya ialah rekayasa politik yang dikenal pula dengan sebutan penggalangan (conditioning), rekayasa dari atas (engineering from above).

Rekayasa politik pada waktu itu memang mutlak kita butuhkan karena Angkatan Darat menghadapi bahaya selain PKI, kekuasaan Bung Karno, dan juga masyarakat Nasakom. Kita ini saat itu boleh dikata berjuang sendirian, tak ada teman, sementara kekuatan-kekuatan yang anti-PKI –yakni PSI dan Masjumi—jauh sebelumnya sudah dibubarkan oleh Bung Karno.

Sementara dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1971, Kino-Kino sendiri, khususnya yang tergabung dalam Trikarya, tidak tampak memainkan partisipasi aktif dalam proses kampanye. Sekber Golkar lebih banyak dikelola oleh kelompok Ali Moertopo, Hankam, dan Menteri Dalam Negeri; khususnya dua yang pertama.

Operasi-operasi Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan interensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai, untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, sehingga pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Operasi penggalangan oleh Opsus juga guna menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.

Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia).

Rekayasa terhadap kalangan Islam juga cukup terkemuka, yakni bagaimana Opsus melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis masa dari bekas-bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.

Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial.

Sehingga policy umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, sambil secara amat berhati-hati mencegah naiknya sayap Islam.

Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo.

Semua partai direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua organisasi yang ada. Pada kondisi saat itu, rekayasa semacam ini tak bisa disalahkan, bahkan walaupun saya tidak terlibat, secara obyektif saya menilai Ali Moertopo sangat besar jasanya, bahwa rekayasa-rekayasa yang dilakukan oleh Ali Moertopo memang amat diperlukan.

Operasi semacam itu dimaksudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrstruktur politik (untuk mendobrak infrastruktur politik yang berorientasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan fungsional. Lha, bagaimana Pak Harto sebagai pemegang SP-11 mampu melaksanakan tugasnyakalau MPR/DPR-nya masih dominan Nasakom? Tentu tidak mungkin. Seperti PNI, walaupun partai tersebut anti-PKI tetapi PNI ada masalah dengan Bung Karno karena memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno. Waktu itu PKI juga meniupkan isu bahwa Angkatan Darat mau mengadakan kup terhadap Bung Karno. Akibatnya PNI bukan main curiganya terhadap Angkatan Darat, termasuk kecurigaan yang datang dari angkatan-angkatan lain yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Polri.

Tidak dapat disangsikan lagi, Ali Moertopo adalah tokoh yang berperanan amat penting dalam sukses Golkar pada pemilihan umum 1971, sekaligus membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas conditioning, dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan ekstrim mana pun. Sejarah kemudian mencatat Opsus-nya Ali memainkan peranan yang menonjol dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.

Bidang garapan Opsus sangat luas meliputi aspek ekonomi, intelijen, sampai melaksanakan penyelundupan bear-besaran. Tahun 1970-an organisasi ini pernah melakukan penyelundupan besar-besaran agar barang di dalam negeri menjadi murah. Waktu itu menjelang lebaran, beberapa kapal masuk dari Singapura menyelundupkan tekstil dan baju jadi.

Di Opsus, Ali Moertopo memiliki sejumlah orang kepercayaan. Tangan kanan Ali di bidang keuangan adalah Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” cari uang. Saudara Giyanto dikatakan yang tahu di mana disimpannya uang-uang Opsus di luar negeri. Bidang operasi Kolonel Sumardan, sementara Kol. Pitut Soeharto bidang penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU, dan bekas DI. Di bagian pembinaan umat Islam ini, Pitut membina umat yang belum tergabung dalam suatu organisasi atau mereka yang masih liar. Bekas-bekas Darul Islam, umpamanya, itu urusan Pitut.

Sebagai gambaran mengenai sepak-terjang unsur-unsur Opsus, seorang bekas sejawat Pitut belakangan mengatakan, “Saya tidak senang dengan cara main Pitut, sebab bisa hancur sendiri. Ia terlalu banyak manuver, membohongi orang di sana-sini, tak malu walau ketahuan, air mukanya tetap biasa saja. Saya tidak mau begitu, nanti tidak punya sahabat. Buktinya sekarang, saat sudah bukan apa-apa lagi maka orang enggan menemuinya, sekadar menengok sekalipun.”

Mengikuti pola di dalam pengorganisasian intelijen, keanggotaan Opsus terbagi dua, di samping ada anggota organik (member of the organization) juga terdapat anggota jaring (member of the net). Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di sini biasanya dengan motivasi mencari uang atau sekedar advonturisme.

Yang termasuk anggota organik Opsus antara lain Pitut Soeharto, Letkol Utomo, Utoro SH. Sedangkan yang tergolong anggota jaring ialah Bambang Trisulo, Leo Tomasoa, Lim Bian Koen, Liem Bian Kie, Monang Pasaribu, Daoed Joesoef, dr. Suryanto, dan banyak yang lainnya lagi. Abdul Gafur disebut-sebut sebagai salah seorang bekas anggota jaring Opsus dan sempat dekat dengan lembaga studi tertentu, namun belakangan renggang.

Dana untuk Opsus besar sekali dan nyaris tak terbatas, entah dari mana dapatnya, di samping dari “usaha” sendiri yang dilakukan oleh para anggota organisasi, Soedjono Hoemardani juga biasa “mengusahakan” pendanaan bagi Opsus. Jadi kalau sepintas terlihat bahwa Opsus begitu kuat, antara lain berkat kuatnya dukungan pembiayan. Berapa persisnya anggaran Opsus, kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas di bawah Ali Moertopo organisasi tersebut kelihatan kaya-raya dan dana mereka jauh lebih banyak dari yang dipunyai oleh intel Kopkamtib misalnya.

Berani dan suka nekad, serta lebih banyak menuruti kemauan sendiri: itulah Ali! Sehingga banyak sekali kegiatan Ali Moertopo atau bawahannya yang tidak sinkron dengan kegiatan anggota-anggota Bakin lainnya. Langkah-langkah Ali Moertopo menjadi selalu kurang pas dengan apa yang digariskan Jenderal Sutopo Juwono sebagai Ka Bakin. Seperti masalah penggalangan bekas-bekas DI Jawa Barat. Lantaran Bakin melarang, maka yang membina kemudian adalah Opsus. Oleh Jenderal Topo itu dinilai sudah melanggar, karena Ali Moertopo sebagai deputi Bakin tidak lagi mendengarkan kata-kata atasannya.

Para bekas DI semula dibina oleh Kodam Siliwangi supaya mereka jangan melakukan gerakan-gerakan lagi. Tapi sekonyong-konyong ditarik oleh Ali Moertopo ke Jakarta, namun dalam hal ini Kodam Siliwangi tidak bisa beruat apa-apa. Sedari itu hubungan Siliwangi dengan Ali Moertopo menjadi kurang baik.

Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” Belakangan Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun.

Pemanfaatan kelompok bekas-bekas DI/TII agaknya memang dianggap menguntungkan. Melalui pola “Pancing dan Jaring” para bekas DI itu dikumpulkan lantas dikorbankan (dikirim ke bui) melalui sebuah peristiwa yang semakin mengesankan bahwa Islam senantiasa berkelahi dengan ABRI, senantiasa memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam.

Kelak semua rekayasa dan kerusuhan politik akan terjadi dengan memanfaatkan para bekas DI/TII yang telah digalang itu (“dipancing dan dijaring”): Peristiwa 15 Januari dengan mengorbankan kelompok Ramadi (Ramadi sendiri santer diberitakan mati secara misterius di RSPAD Gatot Subroto), Peristiwa Komando Jihad yang antara lain membawa kematian pada diri Danu Mohammad Hassan, Peristiwa Lapangan Banteng, Peristiwa Woyla. Alhasil, semua kerusuhan itu pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen.

Rakyat ibarat singa sirkus, jika perut mereka kenyang mereka akan mau diperintah apa saja, tetapi jika perut mereka lapar, mereka tidak segan-segan memangsa pawangnya sendiri” (Letnan Jenderal Ali Moertopo)

Ali Moertopo, tokoh yang dipuja tapi juga dibenci oleh lawan politiknya, betapapun, merupakan suatu bab penting dalam riwayat Orde Baru.

Referensi :

  • Untold Story / the X files Oleh : Syaifudin Bidakara (cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 44-50: 6
  • Saya Memang Ikut” Majalah Tempo Edisi 28 Januari 1984
  • Meninggal Dunia” Majalah Tempo Edisi 26 Mei 1984
  • Ia Berani Melawan Arus“, Majalah Tempo Edisi 26 Mei 1984

SUMBER